Abstrak
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam Ilmu PAUD sudah tentu adanya campur tangan Filsafat, karena didalam PAUD terdapat satu kehidupan dan yang Hidup, Yang Eksistensinya harus dicermati dan dilakukan penelitian, mencari tahu asal muasal, pertumbuhan dan perkembangannya. sejalan Perkembangan zaman, Filusuf tidak hanya memikirkan sesuatu benda kecil disulap menjadi sesuatu yang maha dahsyat seperti bom atom atau nuklir. Namun ada juga filsuf yang memikirkan bagaimana mahluk hidup ciptaan tuhan yang mulai lahir hingga usia 8 tahun dapat berkembang dan menjalani hidup melalui perkembangan yang sistematis dan berurut.. Filsafat pendidikan anak usia dini berupaya mengungkap dan mengkaji realitas proses pendidikan anak. Pelaksanaan pendidikan anak usia dini harus berbasis filsafat dan teori pendidikan yang sesuai dengan tumbuh kembang anak. Dengan demikian, praktik pendidikan mempunyai arah yang jelas, tujuan yang relevan dengan sifat, kebutuhan dan perkembangan anak. Anak akan diperlakukan sesuai dengan situasi dan kondisi kehidupannya
A. Pendahuluan
Kata filsafat berasal dari bahasa Inggris
dan bahasa Yunani, dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy,
sedangkan dalam bahasa Yunani philein atau philos dan sofein atau
sophi. Adapula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa
arab, yaitu falsafah, yang artinya al-hikmah. Philos,
artinya cinta, sedangkan Sophia, artinya kebijaksanaan. Dengan
demikian, filsafat dapat diartikan “cinta kebijaksanaan atau al-hikmah.”
Orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran disebut filsuf. Filsuf
selalu belajar dan mencari kebenaran dan kebijaksanaan tanpa mengenal batas.
Mencari kebenaran dengan pendekatan filosofis yang radikal dan kontemplatif,
yaitu mencari kebenaran hingga keakar-akarnya yang dilakukan secara mendalam.
Filsafat adalah pengetahuan tentang
cara berfikir terhadap segala sesuatu atau sarwa sekalian alam. Artinya, materi
pembicaraan filsafat adalah segala hal yang menyangkut keseluruhan yang
bersifat universal. Dengan demikian, pencarian kebenaran filosofis tidak pernah
berujung dengan kepuasan dan tdak mengenal pemutlakan kebenaran. Bahkan, untuk
suatu yang “sudah” dianggap benar pun, kebenarannya masih diragukan. Dikatakan
tidak mengenal kata puas karena kebenaran akan mengikuti situasi dan kondisi
dan alam pikiran manusia yang haus dengan pengetahuan (Salahudin,
2018)..
Filsafat adalah pencarian kebenaran
dengan cara berfikir sistematis yang dilakukan secara teratur mengikuti
sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti.
Berfikir sistematis senantiasa mengikuti aturan logika yang benar normatif,
artinya cara berfikir yang mengikuti premis-premis tertentu, misalnya menarik
kesimpulan dari pemikiran umum kea rah pemikiran khusus atau sebaliknya dari
pemikiran khusus menuju pemikiran umum. Keduanya lebih dikenal dengan logika
deduktif dan induktif. Sistematika berfikir normatif
disusun dengan struktur dan retorika yang sinergis sehingga berfilsafat bukan
menambah kebingungan orang lain yang diajak berkomunikasi tetapi menjadikannya
lebih komunikatif dan efektif (Salahudin,
2018).
Segala sesuatu yang ada adalah
sesuatu yang keberadaanya pasti, artinya ada dengan sendirinya dan
keberadaannya tidak disebabkan oleh keberadaan lain yang disebut wajib ada.
Ada yang wajib ada, keberadaannya tidak disebabkan oleh kemungkinan lain.
Adapun yang mungkin ada, keberadaannya bergantung pada berbagai kemungkinan,
misalnya keberadaan manusia karena manusia diciptakan oleh sang pencipta yang
mahaada. Adapun sang pencipta itu wajib ada.
Hal-hal yang material dan metafisika
menjadi objek material filsafat. Filsafat menyatakan seluruh yang ada dan yang
mungkin ada sebagai realita yang sebenarnya sebagaimana hakikat segala sesuatu
berada pada sesuatu itu sendiri. Diluar substansi Sesutu bukanlah hakikat yang
sebenarnya. Kebenaran hakiki tersebut benar-benar nyatadan tidak diganggu oleh
keraguan jiwa dan pikiran manusia.
Filsafat mempertanyakan setiap
eksistensi sehingga melahirkan pendekatan epistemologis. Episteme artinya
knowledge, yaitu pengetahuan, logos berarti theori. Dengan demikian,
epistemologi berarti “teori pengetahuan” atau teori tentang metode, cara dan
dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang hakikat tertinggi, kebenaran,
dan batasan ilmu manusia. Epistemologi adalah cabang filsafat yang meneliti
asal, struktur, metode-netode, dan kesahihan pengetahuan. Istilah
“epistemologi” pertama kali dipakai oleh J.F. Ferrier, institutes of
Metaphysics (1854 M) yang membedakan dua cabang filsafat. Epistemologi berbeda
dengan logika. Logika merupakan sains formal (formal Science) yang berkenaan
dengan prinsip-prinsip penalaran yang sahih, sedangkan epistemologi adalah sains
filosofis (philosophical science) tentang asal usul pengetahuan dan
kebenaran. Puncak pengkajian epistemologi adalah kebenaran yang membawa kita ke
pintu metafisika.
B.
Konsep Filsafat Pendidikan
Manusia
merupakan makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya, paling unik, penuh
dinamika dalam perkembangannnya dan memiliki potensi untuk mengembangkan
dirinya yang dianugerahkan kepadanya bila mendapatkan layanan yang sesuai.
Sebagai manusia, semenjak berusia dini mereka telah dibekali dengan berbagai
potensi-potensi yang perlu dikembangkan agar kelak dapat menjalankan fungsi dan
perannya sebagai manusia secara efektif dan produktif dalam menjalami kehidupan
sehari-hari. Begitu pentingnya peran anak, para ahli pendidikan anak telah
berusaha mencari jawaban yang akurat tentang anak. Pertanyaan-pertanyaan yang
sering diajukan tentang anak.
Filsafat pendidikan adalah teori atau ideologi pendidikan yang muncul dari
sifat filsafat seorang
pendidik, dari pengalaman-pengalamnnya dalam pendidikan dan kehidupan dari kajiannya tentang berbagai ilmu
yang berhubungan dengan pendidikan,
dan berdasar itu pendidik dapat mengetahui sekolah berkembang
Sementara itu metodologi dalam filsafat
terbagi kedalam 3 hal yakni: Metode
Deduksi, Metode berfikir yang menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum
kemudian menerapkannya pada sesuatu yang bersifat khusus. Metode Induksi, Metode berfikir dalam menarik kesimpulan dari
prinsip khusus, kemudian menerapkannya pada sesuatu yang bersifat khusus. Metode Dialektik, Metode berfikir yang
menarik kesimpulan melalui tiga tahap atau jenjang, yaitu, tesis, antithesis,
dan sintesis.
Ada juga yang mengatakan bahwa
metode filsafat adalah: ontology, epistemology, dan aksiologi, selain itu ada
juga metode lain yang diterapkan oleh filsuf antara lain, Plato, membahas
filsafat dengan metode dialektik, yaitu metode dialogis. Aristoteles menerapkan
metode silogisme atau logika. Dan masih banyak lagi metode yang diterapkan oleh
para filsuf dalam membahas filsafat.
C. Penerapan
Filsafat Pada PAUD menurut para Tokoh
Pada dasarnya segala sesuatu
memiliki sejarah yang menarik untuk diketahui, tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Sebagai seorang dosen yang profesional khususnya dalam Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD), tentunya harus mempelajari dan memahami mengenai sejarah dari
PAUD. Dalam Morrison mengungkapkan bahwa seorang guru akan jauh lebih pandai
dan efektif apabila mengetahui sejarah dari profesinya (Morison,
2012). Mengetahui sejarah dari profesi yang ditekuni dapat
menjadi pendukung bagi kita untuk menjadi seorang ahli. Ketika kita mengetahui
mengenai keyakinan, ide-ide, dan prestasi yang tersirat dalam cerita sejarah
dari tokoh-tokoh yang telah mendedikasikan hidupnya bagi perkembangan
pendidikan anak-anak, maka kita akan menyadari bahwa banyak program pendidikan
bagi anak yang ada di masa kini dibuat berdasarkan keyakinan tentang cara anak
belajar, tumbuh, dan berkembang yang telah ada dan berkembang sejak lama. Berikut
merupakan beberapa tokoh ternama yang memiliki pengaruh dalam berkembangnya
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD):
1.
Johann Heinrich Pestalozzi
adalah seorang ahli pendidikan Swiss
yang hidup antara 1746-1827. Pestalozzi adalah seorang tokoh yang memiliki
pengaruh cukup besar dalam dunia pendidikan. Pestalozzi berpandangan bahwa anak
pada dasarnya memiliki pembawaan yang baik. Pertumbuhan dan perkembangan yang
terjadi pada anak berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan. Lebih
lanjut ia mengemukakan bahwa masing-masing tahap pertumbuhan dan perkembangan
seorang individu haruslah tercapai dengan sukses sebelum berlanjut pada tahap
berikutnya. Permasalahan yang muncul dalam suatu tahap perkembangan akan
menjadi hambatan bagi individu tersebut dalam menyelesaikan tugas
perkembangannya dan hal ini akan memberikan pengaruh yang cukup besar pada
tahap berikutnya.
Pestalozzi memiliki keyakinan bahwa
segala bentuk pendidikan adalah berdasarkan pengaruh panca indera, dan melalui
pengalaman-pengalaman tersebut potensi-potensi yang dimiliki oleh seorang
individu dapat dikembangkan. Pestalozzi percaya bahwa cara belajar yang terbaik
untuk mengenal berbagai konsep adalah dengan melalui berbagai pengalaman antara
lain dengan menghitung, mengukur, merasakan dan menyentuhnya (Pradja,
2000).
Pandangannya tentang tujuan
pendidikan ialah memimpin anak menjadi orang yang baik dengan jalan
mengembangkan semua daya yang dimiliki oleh anak. Ia memandang bahwa segala
usaha yang dilakukan oleh orang dewasa harus disesuaikan dengan perkembangan
anak menurut kodratnya, sebab pendidikan pada hakekatnya adalah suatu usaha
pemberian pertolongan agar anak dapat menolong dirinya sendiri di kemudian
hari. Pandangan Pestalozzi tentang anak dapat disimpulkan bahwa anak harus
aktif dalam menolong atau mendidik dirinya sendiri. Selain itu perkembangan
anak berlangsung secara teratur, maju setahap demi setahap, implikasi atau
pengaruhnya adalah bahwa pembelajaran pun harus maju teratur selangkah demi
selangkah.
Selain itu Pestalozzi memandang
bahwa keluarga merupakan cikal bakal pendidikan yang pertama, sehingga baginya
seorang ibu memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam memberikan
dasar-dasar pendidikan yang pertama bagi anak-anaknya. Dari pandangannya
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa lingkungan terutama lingkungan keluarga
memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk kepribadian seorang anak pada
awal kehidupannya. Kasih sayang yang didapatkan anak dalam lingkungan
keluarganya akan membantu mengembangkan potensinya. Dalam pandangan Pestalozzi
kecintaan yang diberikan ibu kepada anaknya akan memberikan pengaruh terhadap
keluarga, serta menimbulkan rasa terima kasih dalam diri anak. Pada akhirnya,
rasa terima kasih tersebut akan menimbulkan kepercayaan anak terhadap Tuhan.
Dari uraian di atas, nampak bahwa Pestalozzi menghendaki bentuk pendidikan yang
harmonis yang seimbang antara jasmani, rohani, sosial dan agama
2.
Maria
Montessori
Maria Montessori hidup sekitar tahun
1870-1952. Ia adalah seorang dokter dan ahli tentang manusia yang berasal
Italia. Pemikiran-pemikiran serta metode yang dikembangkannya masih populer di
seluruh dunia. Pandangan Montessori tentang anak tidak terlepas dari pengaruh
pemikiran ahli yang lain yaitu Rousseau dan Pestalozzi yang menekankan pada
pentingnya kondisi lingkungan yang bebas dan penuh kasih agar potensi yang
dimiliki anak dapat berkembang secara optimal. Montessori memandang
perkembangan anak usia prasekolah/ TK sebagai suatu proses yang
berkesinambungan. Ia memahami bahwa pendidikan merupakan aktivitas diri yang
mengarah pada pembentukan disiplin pribadi, kemandirian dan pengarahan diri.
Menurut Montessori, persepsi anak
tentang dunia merupakan dasar dari ilmu pengetahuan. Untuk itu ia merancang
sejumlah materi yang memungkinkan indera seorang anak dikembangkan. Dengan
menggunakan materi untuk mengoreksi diri, anak menjadi sadar terhadap berbagai
macam rangsangan yang kemudian disusun dalam pikirannya. Montessori
mengembangkan alat-alat belajar yang memungkinkan anak untuk mengeksplorasi
lingkungan. Pendidikan Montessori juga mencakup pendidikan jasmani, berkebun
dan belajar tentang alam (Pradja,
2000).
Montessori beranggapan bahwa
pendidikan merupakan suatu upaya untuk membantu perkembangan anak secara
menyeluruh dan bukan sekedar mengajar. Spirit atau nilai-nilai dasar
kemanusiaan itu berkembang melalui interaksi antara anak dengan lingkungannya.
Montessori meyakini bahwa ketika dilahirkan, anak secara bawaan sudah memiliki
pola perkembangan psikis atau jiwa. Pola ini tidak dapat teramati sejak lahir.
Tetapi sejalan dengan proses perkembangan yang dilaluinya maka akan dapat
teramati. Anak memiliki motif atau dorongan yang kuat ke arah pembentukan
jiwanya sendiri (self construction) sehingga secara spontan akan berusaha untuk
membentuk dirinya melalui pemahaman terhadap lingkungannya.
Montessori menyatakan bahwa dalam
perkembangan anak terdapat masa peka, suatu masa yang ditandai dengan begitu
tertariknya anak terhadap suatu objek atau karakteristik tertentu serta
cenderung mengabaikan objek yang lainnya. Pada masa tersebut anak memiliki
kebutuhan dalam jiwanya yang secara spontan meminta kepuasan. Masa peka
ini tidak bisa dipastikan kapan timbulnya pada diri seorang anak, karena
bersifat spontan dan tanpa paksaan. Setiap anak memiliki masa peka yang
berbeda. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika masa pekatersebut
tidak dipergunakan secara optimal maka tidak akan ada lagi
kesempatan bagi anak untuk mendapatkan masa pekanya kembali. Tetapi meskipun
demikian, guru dapat memprediksi atau memperkirakan timbulnya masa peka pada
seorang anak dengan melihat minat anak pada saat itu.
Berkaitan dengan hal tersebut maka
tugas seorang guru adalah mengamati dengan teliti perkembangan setiap muridnya
yang berhubungan dengan masa pekanya. Kemudian guru dapat memberikan stimulasi
atau rangsangan yang dapat membantu berkembangnya masa peka anak sesuai dengan
fungsinya.
Anak memiliki kemampuan untuk
membangun sendiri pengetahuannya, dan hal tersebut dilakukan oleh anak mulai
dari awal sekali. Gejala psikis atau kejiwaan yang memungkinkan anak membangun
pengetahuannya sendiri dikenal dengan istilah jiwa penyerap (absorbent mind).
Dengan gejala psikis/kejiwaan tersebut anak dapat melakukan penyerapan secara
tidak sadar terhadap lingkungannya, kemudian menggabungkannya dalam kehidupan
psikis/jiwanya. Seiring dengan perkembangannya, maka proses penyerapan tersebut
akan berangsur disadari.
3.
Friendrich
Wilheim August Froebel
Froebel yang bernama lengkap
Friendrich Wilheim August Froebel, lahir di Jerman pada tahun 1782 dan wafat
pada tahun 1852. Pandangannya tentang anak banyak dipengaruhi oleh Pestalozzi
serta para filsuf Yunani. Froebel memandang anak sebagai individu yang pada
kodratnya bersifat baik. Sifat yang buruk timbul karena kurangnya pendidikan
atau pengertian yang dimiliki oleh anak tersebut.
Setiap tahap perkembangan yang
dialami oleh anak harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh. Anak
memiliki potensi, dan potensi itu akan hilang jika tidak dibina dan
dikembangkan. Tahun-tahun pertama dalam kehidupan seorang anak amatlah berharga
serta akan menentukan kehidupannya di masa yang akan datang. Oleh karenaitu
masa anak merupakan masa emas (The Golden Age) bagi penyelenggaraan pendidikan.
Masa anak merupakan fase/tahap yang sangat fundamental bagi perkembangan
individu karena pada fase/tahap inilahterjadinya peluang yang cukup besar untuk
pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang.
Pendidikan keluarga sebagai pendidikan
pertama bagi anak dalam kehidupannya, sangatlah penting, karena kehidupan yang
dialami oleh anak pada masa kecilnya akan menentukan kehidupannya di masa
depan. Froebel memandang pendidikan dapat membantu perkembangan anak secara
wajar. Ia menggunakan taman sebagai simbol dari pendidikan anak. Apabila anak
mendapatkan pengasuhan yang tepat, maka seperti halnya tanaman muda akan
berkembang secara wajar mengikuti hukumnya sendiri. Pendidikan taman
kanak-kanak harus mengikuti sifat dan karakteristik anak. Oleh sebab itu
bermain dipandang sebagai metode yang tepat untuk membelajarkan anak, serta
merupakan cara anak dalam meniru kehidupan orang dewasa di sekelilingnya secara
wajar. Froebel memiliki keyakinan tentang pentingnya belajar melalui bermain.
4.
Jean
Jacques Rousseau
Jean Jacques Rousseau yang hidup
antara tahun 1712 sampai dengan tahun 1778, dilahirkan di Geneva, Swiss, tetapi
sebagian besar waktunya dihabiskan di Perancis. Rousseau menyarankan konsep
“kembali ke alam” dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak.
Bagi Rousseau pendekatan alamiah berarti anak akan berkembang secara optimal,
tanpa hambatan. Menurutnya pula bahwa pendidikan yang bersifat alamiah
menghasilkan dan memacu berkembangnya kualitas semacam kebahagiaan, spontanitas
dan rasa ingin tahu. Rousseau percaya bahwa walaupun kita telah melakukan
kontrol terhadap pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sosial dan melalui
indera, tetapi kita tetap tidak dapat mengontrol pertumbuhan yang sifatnya
alami.
Untuk mengetahui kebutuhan anak,
guru harus mempelajari ilmu yang berkaitan dengan anak-anak. Tujuannnya adalah
agar guru dapat memberikan pelajaran yang sesuai dengan minat anak. Jadi yang
menjadi titik pangkal adalah anak. Tujuan pendidikan menurut gagasan Rousseau
adalah membentuk anak menjadi manusia yang bebas. Rousseau memiliki keyakinan
bahwa seorang ibu dapat menjamin pendidikan anaknya secara
alamiah. Ia berprinsip bahwa dalam mendidik anak, orang tua perlu memberi
kebebasan pada anak agar mereka dapat berkembang secara alamiah
5.
Jean
Piaget
Jean Piaget bersama dengan Lev
Vigotsky adalah dua orang ahli psikologi yang pertama kali mencetuskan teori
kontruktivisme . Pada dasarnya paham konstruktivis ini mempunyai asumsi bahwa
anak adalah pembangun pengetahuan yang aktif. Anak mengkonstruksi/membangun
pengetahuannya berdasarkan pengalamannya. Pengetahuan tersebut diperoleh anak
dengan cara membangunnya sendiri secara aktif melalui interaksi yang
dilakukannya dengan lingkungan. Menurut paham ini anak bukanlah individu yang
bersifat pasif, yang hanya menerima pengetahuannya dari orang lain. Anak adalah
makhluk belajar yang aktif yang dapat mengkreasi/mencipta dan membangun
pengetahuannya sendiri.
Para ahli konstruktif meyakini bahwa
pembelajaran terjadi saat anak memahami dunia di sekeliling mereka.
Pembelajaran menjadi proses interaktif yang melibatkan teman sebaya anak, orang
dewasa dan lingkungan. Anak membangun pemahaman mereka sendiri terhadap dunia.
Mereka memahami apa yang terjadi di sekeliling mereka dengan mensintesa
pengalaman-pengalaman baru dengan apa yang telah mereka pahami sebelumnya.
Contoh berikut ini akan membantu
Anda untuk memahami pandangan ini. Seorang anak TK yang keluarganya memiliki
seekor anjing berjalan-jalan dengan mengendarai mobil bersama keluarganya.
Mereka melintasi seekor sapi di suatu lapangan. Anak itu menunjuk dan
mengatakan “anjing”. Orang tuanya memberitahukan anak tersebut bahwa
binatang tersebut bukanlah seekor anjing melainkan sapi dan
bahwa sapi berbeda dengan anjing.
Informasi yang baru tersebut akan
dicerna dengan apa yang telah diketahui dan penyesuaian mental akan terbentuk.
Meskipun anak harus membangun sendiri pemahaman, pengetahuan, dan pembelajaran
mereka, peran orang dewasa sebagai fasilitator dan mediator sangatlah penting.
Berdasarkan asumsi tadi nampak bahwa
pendekatan ini menekankan pada pentingnya keterlibatan anak dalam proses
pembelajaran. Untuk itu maka guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar
yang menyenangkan, akrab, dan hangat melalui kegiatan bermain maupun berinteraksi
dengan lingkungan sehingga dapat merangsang partisipasi aktif dari anak.
Piaget dan Vigotsky sama-sama
menekankan pada pentingnya aktivitas bermain sebagai sarana untuk pendidikan
anak, terutama yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas berfikir. Lebih
jauh mereka berpendapat bahwa aktivitas bermain juga dapat menjadi akar bagi
perkembangan perilaku moral. Hal itu terjadi ketika dihadapkan pada suatu
situasi yang menuntut mereka untuk berempati serta memenuhi aturan dan perannya
dalam kehidupan bermasyarakat.
Interaksi yang dilakukan anak dengan
lingkungan sekitarnya, baik itu orang dewasa maupun anak-anak yang lainnya
dapat memberikan bekal yang cukup berharga bagi anak, karena dapat membantu
mengembangkan kemampuan berbahasa, berkomunikasi serta bersosialisasi, dan yang
tidak kalah pentingnya adalah melalui interaksi tersebut anak akan belajar
memahami perasaan orang, menghargai pendapat mereka, sehingga secara tidak
langsung anak juga berlatih mengekspresikan/menunjukkan emosinya.
6.
Ki
Hadjar Dewantara
Nama aslinya adalah Suwardi
Suryaningrat lahir pada tanggal 2 Mei 1899. Ki Hadjar memandang anak sebagai
kodrat alam yang memiliki pembawaan masing-masing serta kemerdekaan untuk
berbuat serta mengatur dirinya sendiri. Akan tetapi kemerdekaan itu juga sangat
relatif karena dibatasi oleh hak-hak yang patut dimiliki oleh orang lain.
Anak memiliki hak untuk menentukan
apa yang baik bagi dirinya, sehingga anak patut diberi kesempatan untuk
berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri atau dipaksa. Pamong hanya
boleh memberikan bantuan apabila anak menghadapi hambatan yang cukup berat dan
tidak dapat diselesaikan. Hal tersebut merupakan cerminan dari semboyan “tut
wuri handayani”.
Ki Hadjar juga berpandangan bahwa
pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah lahir dan batin, serta
dapat memerdekakan diri. Kemerdekaan itu hendaknya diterapkan pada cara
berfikir anak yaitu agar anak tidak selalu diperintahkan atau dicekoki dengan
buah pikiran orang lain saja tetapi mereka harus dibiasakan untuk mencari serta
menemukan sendiri berbagai nilai pengetahuan dan keterampilan dengan
menggunakan pikiran dan kemampuannya sendiri.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa
Ki Hadjar memandang anak sebagai individu yang memiliki potensi untuk
berkembang, sehingga pemberian kesempatan yang luas bagi anak untuk mencari dan
menemukan pengetahuan, secara tidak langsung akan memberikan peluang agar
potensi yang dimiliki anak dapat berkembang secara optimal. Ki Hadjar Dewantara
menjelaskan bahwa anak lahir dengan kodrat atau pembawaannya masing-masing.
Kekuatan kodrati yang ada pada anak ini tiada lain adalah segala kekuatan dalam
kehidupan batin dan lahir anak yang ada karena kekuasaan kodrat (karena faktor
pembawaan atau keturunan yang ditakdirkan secara ajali).
Kodrat anak bisa baik dan bisa pula
sebaliknya. Kodrat itulah yang akan memberikan dasar bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Dengan pemahaman seperti di atas, Dewantara memandang bahwa
pendidikan itu sifatnya hanya menuntun bertumbuhkembangnya kekuatan-kekuatan
kodrati yang dimiliki anak. Pendidikan sama sekali tidak mengubah dasar
pembawaan anak, kecuali memberikan tuntunan agar kodrat-kodrat bawaan anak itu
bertumbuhkembang ke arah yang lebih baik.
Pendidikan berfungsi menuntun anak
yang berpembawaan tidak baik menjadi lebih berkualitas lagi disamping untuk
mencegahnya dari segala macam pengaruh jahat. Dengan demikian, tujuan
pendidikan itu adalah untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar ia
sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaaan yang
setinggi-tingginya dalam hidupnya.”
Demikian beberapa pendapat para ahli
yang telah mengungkapkan pendapatnya mengenai hakekat anak. Semoga kita selaku
mahasiswa dan pendidik anak usia dini setelah membaca pendapat para ahli dapat
memahami bagaimana sebaiknya memperlakukan anak usia dini, sebesar apa
perhatian yang harus kita curahkan kepada mereka. Dan bagaimana cara
membelajarkan mereka, agar mereka dapat tumbuh kembang sesuai usinya, dan
mereka dapat menikmati dunia mereka yaitu dunia anak.
Referensi
Morison, G. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Anak
Usia Dini. PT. Indeks.
Pradja, J. S. (2000). Aliran-aliran Filsafat dan Etika.
Yayasan Piara.
Salahudin, A. (2018). Filsafat Pendidikan. Pustaka
Setia.
Muhmidayeli.
2011. Filsafat Pendidikan, Bandung : Refika Aditama
Mulyasa,
H.E,. 2014. Manajemen PAUD. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Nur’aeni. 1997.
Intervensi Dini Bagi Anak Bermasalah. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Patilima
Hamid. 2015. Resiliensi Anak Usia Dini. Bandung : Alfabeta
Semiawan
C. Conny. 2009. Penerapan Pembelajaran Pada Anak. Jakarta : PT.Indeks
Suyadi
& Ulfah Maulidya. 2013. Konsep Dasar PAUD. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar