Terdapat 5 ideologi yang ada di duni ini yakni: Industrial
trainer, Technological pragmatism, Old humanism, Progressive educator dan Public
educator. Namun dalam laporan ini hanya akan dianalisis beberapa hal terkait
dengan pragmatism.
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma”, adapula
yang menyebut dengan istilah “pragmatikos”, yang berarti tindakan atau aksi.
Pragmatisme berarti filsafat atau pemikiran tentang tindakan. Filsafat ini
menyatakan bahwa benar tidaknya suatu teori bergantung pada berfaedah tidaknya
teori itu bagi manusia dalam penghidupannya. Dengan demikian, ukuran untuk
segala perbuatan adalah manfaatnya dalam praktek dan hasil yang memajukan
hidup. Benar tidaknya sesuatu hasil pikir, dalil maupun teori, dinilai menurut
manfaatnya dalam kehidupan atau menurut berfaedah tidaknya teori itu dalam
kehidupan manusia.
Atas dasar itu, tujuan kita berfikir adalah memperoleh
hasil akhir yang dapat membawa hidup kita lebih maju dan lebih berguna. Sesuatu
yang menghambat hidup kita adalah tidak benar. Pragmatisme memiliki tiga ciri,
yaitu: (1) memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera
manusia, (2) apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi,
dan (3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat.
Dalam pendidikan, secara sederhana dapat digambarkan
bahwa peserta didik sebagai input mengalami proses interaksi dengan tenaga
pendidik, tenaga kependidikan, kurikulum, bahan ajar termasuk di dalamnya
fasilitas yang memadai dalam proses interaksi tersebut. Setelah peserta didik
menyelesaikan proses pembelajaran dan dinyatakan lulus, maka berikutnya ia akan
memberikan pengaruh kepada masyarakat (outcome). Seluruh sistem pendidikan di
manapun mengacu kepada alur sistem mikro pendidikan ini. Adapun yang membedakan
sistem tersebut adalah sistem nilai (value system) yang ditanamkan dalam domain
proses. Sistem nilai ini mengikuti arah kebijakan pemerintah seperti kurikulum
yang ditetapkan. Kurikulum sendiri merupakan produk politik yang mempengaruhi
output dan outcome peserta didik. Tujuan pendidikan nasional adalah
meningkatkan keimanan, ketakwaan serta akhlak mulia peserta didik, maka arah
proses pembelajaran ditujukan untuk ketercapaian tujuan tersebut.
Bila masih terjadi anggapan bahwa ijazah, kompetensi
lulusan dan daya serap pasar lebih penting dari iman, takwa dan akhlak mulia,
atau menganggap tujuan pendidikan tersebut hanyalah formalitas, maka terjadi
kesalahan dalam berpikir. Hal ini disebabkan tujuan menjadi target yang harus
dicapai dan menjadi ultimate purpose (target tertinggi) yang harus melekat
secara inheren atas lulusan.
Sikap tersebut selalu ada saat lulusan sudah lama
meninggalkan kampus tempat ia belajar. Walhasil, bila korupsi, suap dan
perbuatan yang bertentangan dengan iman, takwa dan akhlak mulia ini masih
terjadi, maka proses pembelajaran yang terjadi belum mencerminkan proses yang
berkesesuaian (in line with) dengan tujuan. Berdasarkan PP. No. 13 Tahun 2015
tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah sebagai salah satu stakeholder
pendidikan, berupaya membuat standar minimal pendidikan yang wajib dipenuhi
seluruh unit kerja pendidikan dari Aceh hingga Papua.
Menghormati prinsip pendidikan berbasiskan pengalaman
Sebagaimana telah ditekankan, bahwa menurut pragmatisme peran pendidikan yang
sangat penting adalah mengajar peserta didik tentang bagaimana menjalin
hubungan antara sejumlah pengalaman sehingga terjadi penyimpulan dan pengujian
pengetahuan baru. Pengalaman baru akan menjadi pengetahuan baru apabila
seseorang selalu bertanya dalam hatinya. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut
merupakan pengetahuan baru yang tersimpan pada struktur kognitif seseorang.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan baru akan terjadi bila ada
pengalaman baru. Oleh karena itu, semakin banyak pengalaman belajar yang
dialami seseorang akan semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya.
Pengalaman baru peserta didik diperoleh dari sekolah,
baik yang dirancang maupun tidak. Penentuan pengalaman yang diperoleh di
sekolah harus melihat ke depan, yaitu tuntutan masyarakat di masa depan, karena
perubahan yang dilakukan saat ini akan diperoleh hasilnya di masa depan.
Selanjutnya, akumulasi pengetahuan baru bagi peserta didik menentukan kemampuan
peserta didik. Kemampuan ini sering disebut dengan kompetensi, yaitu kemampuan
yang dapat dilakukan oleh peserta didik. Kompetensi ini sangat penting dalam
era globalisasi, karena persaingan yang terjadi terletak pada kompetensi lulusan
lembaga pendidikan atau pelatihan. Kompetensi lulusan ini ditentukan oleh
pengalaman belajar peserta didik, sedang pengalaman belajar ini merupakan
bagian dari kurikulum sekolah.
Wallohu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar